Rabu, 25 Juni 2008
Selasa, 17 Juni 2008
Buat flashdisk km beda
1.MERUBAH ICON(GAMBAR Flashdisknya)
Biar icon-nya bisa berubah, pertama-tama cari icon-nya . Icon berextensi .ico . Atau bisa juga icon dari program (berextensi.exe) yang gak ada file berextensi .ico nya.
Setelah itu
- Buka notepad.
- Terus copy script di bawah ini :
[AutoRun]
icon=AlienGuise.ico
AlienGuise.ico bisa anda ubah dengan nama icon yang anda dapat tadi ! contoh lainny heart.exe
- Kalo udah, Klik File, save as.
- File Name : Autorun.inf
Save As Type : All Files
- Klik Save
- taruh tuh autorun sama icon-nya di flashdisk anda. Autorunnya gak usah masuk folder-folder, ntar malaha gak bisa.
- klo sudah, tes deh itu autorun jalan apa enggak. tinggal anda keluar masukin aja tuh flashdisk dari slotnya. jadi deh.
2. MERUBAH BACKGROUND FOLDER JADI GAMBAR
1.Pake software BACKGROUNDMAKER
2.Kalo g ada ya buat aja di notepad(cara manual)
caranya:
Cari gambar berextensi .jpeg,atau .jpg
- Buka notepad
- Copy Script di bawah ini
[ExtShellFolderViews]
{BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}={BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}
[{BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}]
Attributes=1
IconArea_Image=inuyasha.jpg
IconArea_Text=fx00ff00
Kalo udah klik file, save as
- File Name : Desktop.ini
Save As Type : All Files
- Klik save
- Tinggal taruh deh, itu Configuration setting sama gambar ke flashdisk.
atau di folder mana aja.
- Terakhir, tinggal refresh aja deh tuh di dalam foldernya.
- wooow ...baguskan
.:Diperoleh dari berbagai sumber, jadi sebarin ya....klo ada informasi lainnya kasih tau..ok:.
1.MERUBAH ICON(GAMBAR Flashdisknya)
Biar icon-nya bisa berubah, pertama-tama cari icon-nya . Icon berextensi .ico . Atau bisa juga icon dari program (berextensi.exe) yang gak ada file berextensi .ico nya.
Setelah itu
- Buka notepad.
- Terus copy script di bawah ini :
[AutoRun]
icon=AlienGuise.ico
AlienGuise.ico bisa anda ubah dengan nama icon yang anda dapat tadi ! contoh lainny heart.exe
- Kalo udah, Klik File, save as.
- File Name : Autorun.inf
Save As Type : All Files
- Klik Save
- taruh tuh autorun sama icon-nya di flashdisk anda. Autorunnya gak usah masuk folder-folder, ntar malaha gak bisa.
- klo sudah, tes deh itu autorun jalan apa enggak. tinggal anda keluar masukin aja tuh flashdisk dari slotnya. jadi deh.
2. MERUBAH BACKGROUND FOLDER JADI GAMBAR
1.Pake software BACKGROUNDMAKER
2.Kalo g ada ya buat aja di notepad(cara manual)
caranya:
Cari gambar berextensi .jpeg,atau .jpg
- Buka notepad
- Copy Script di bawah ini
[ExtShellFolderViews]
{BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}={BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}
[{BE098140-A513-11D0-A3A4-00C04FD706EC}]
Attributes=1
IconArea_Image=inuyasha.jpg
IconArea_Text=fx00ff00
Kalo udah klik file, save as
- File Name : Desktop.ini
Save As Type : All Files
- Klik save
- Tinggal taruh deh, itu Configuration setting sama gambar ke flashdisk.
atau di folder mana aja.
- Terakhir, tinggal refresh aja deh tuh di dalam foldernya.
- wooow ...baguskan
.:Diperoleh dari berbagai sumber, jadi sebarin ya....klo ada informasi lainnya kasih tau..ok:.
Kasih Sayang Seorang Ibu
Saat kamu berumur 15 tahun, dia pulang kerja ingin memelukmu. Sebagai balasannya, kau kunci pintu kamarmu.
Saat kamu berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya. Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa peduli kepentingannya.
Saat kamu berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang penting. Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop semalaman.
Saat kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau lulus SMA. Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu hingga pagi.
Saat kamu berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan mengantarmu ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasannya, kau minta diturunkan jauh dari pintu gerbang agar kau tidak malu di depan teman-temanmu.
Saat kamu berumur 20 tahun, dia bertanya, "Dari mana saja seharian ini?". Sebagai balasannya, kau jawab,"Ah Ibu cerewet amat sih, ingin tahu urusan orang!"
Saat kamu berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan yang bagus untuk karirmu di masa depan. Sebagai balasannya, kau katakan, "Aku tidak ingin seperti Ibu."
Saat kamu berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat kau lulus perguruan tinggi. Sebagai balasannya, kau tanya dia kapan kau bisa ke Bali.
Saat kamu berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah barumu. Sebagai balasannya, kau ceritakan pada temanmu betapa jeleknya furniture itu.
Saat kamu berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya tentang rencananya di masa depan. Sebagai balasannya, kau mengeluh,"Bagaimana Ibu ini, kok bertanya seperti itu?"
Saat kamu berumur 25 tahun, dia membantumu membiayai penikahanmu. Sebagai balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.
Saat kamu berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat bagaimana merawat bayimu. Sebagai balasannya, kau katakan padanya, "Bu, sekarang jamannya sudah berbeda!"
Saat kamu berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan pesta ulang tahun salah seorang kerabat. Sebagai balasannya, kau jawab, "Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu."
Saat kamu berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlu-kan perawatanmu. Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh negatif orang tua yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya.
Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang. Dan tiba-tiba kau teringat semua yang belum pernah kau lakukan, karena mereka datang menghantam HATI mu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.
JIKA BELIAU MASIH ADA, JANGAN LUPA MEMBERIKAN KASIH SAYANGMU LEBIH DARI YANG PERNAH KAU BERIKAN SELAMA INI DAN JIKA BELIAU SUDAH TIADA, INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TULUS TANPA SYARAT KEPADAMU.
Aku sering sekali menangis jika aku memikirkan tentang ibuku, apalagi tentang pertanyaan ini, Apa yang sudah aku berikan kepada Ibuku?... apalagi jika aku berpikir kalau nanti ibuku telah pergi dari dunia ini. Aku belum siap. Sungguh, aku belum siap. Rasa tangis mungkin tidak bisa aku bendung, dan pasti aku tidak bisa memaafkan diriku karena kehilangan ibuku tanpa sesuatu yang berharga untuknya.
Aneh... kenapa seorang ibu selalu saja mencintai anaknya lebih dari mereka mencintai dirinya. Tapi kenapa aku tidak bisa seperti itu, kenapa?
Kenapa aku tidak bisa seperti temanku, yang sangat mencintai ibunya melebihi apapun, waktunya dan kehidupannya untuk ibunya. Sehingga setiap harinya, seolah ada malaikat yang selalu membantunya. Aku yakin sekali bahwa "Surga berada di telapak kaki ibu". Jadi dengan membuat Ibu senang, pasti kehidupan kita akan selalu lurus, baik, indah dan bermakna. Aku yakin tentang itu.... Tetapi kenapa selama ini aku tidak bisa mencintai dia melebihi apapun. Apakah harus kehilangan dia, baru aku mencintainya...
Ada temanku yang lain.. yang sungguh mencintai ibunya dan adik-adiknya. Dia menjadi penentu hidup ibu dan adik-adiknya. Karena ayahnya sudah meninggal waktu dia SMA. Apakah harus seperti itu, baru aku sadar?
Sungguh beruntung aku, sampai saat ini masih bisa merasakan kasih sayang dari ibuku, masih bisa mendengar suaranya, masih bisa menatap matanya dan untuk sekarang aku menangis karena mungkin masih bisa meminta maaf atas kesalahan aku selama ini. Meminta maaf karena sering melawannya, sering membuatnya sedih, meminta maaf karena tidak bisa membalas budinya.... Ohh... Ibu... Mama... Bunda... Maafkan aku...
Mungkin yang bisa kulakukan sekarang ini adalah, berdoa agar ibuku serta ayahku agar bahagia dunia akhirat, selalu sayang kepada anak-anaknya sampai akhir hayat. Jika nanti aku bertemu dengan ibuku, aku harus bilang, kalau aku sungguh menyayanginya.... Dan aku selalu berusaha untuk selalu membuat dia tersenyum... Aku tidak mau menyesal...
Aku atau kita sungguh beruntung masih bisa memiliki ibu dan ayah... Coba kalian pikirkan, jika kehilangan mereka detik ini, kalian tidak akan merasakan kasih sayang mereka, kalian tidak bisa menyentuhnya, walaupun sebenarnya mereka tidak akan hilang di hati kalian... Mulai sekarang, sadarlah, cobalah untuk mengingat kasih sayang Ibumu dan ayahmu... Jika ibumu dan ayahmu pernah marah kepada kalian, ingat selalu bahwa mereka sungguh menyayangi kalian.. Mereka hanya ingin anaknya menjadi orang lebih baik dari mereka... Ikrarkan dalam hati kalian saat ini untuk selalu berusaha menyenangkan mereka... menyenangkan Ibu.. Mama.. Bunda.. Ayah..
Saat kamu berumur 15 tahun, dia pulang kerja ingin memelukmu. Sebagai balasannya, kau kunci pintu kamarmu.
Saat kamu berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya. Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa peduli kepentingannya.
Saat kamu berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang penting. Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop semalaman.
Saat kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau lulus SMA. Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu hingga pagi.
Saat kamu berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan mengantarmu ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasannya, kau minta diturunkan jauh dari pintu gerbang agar kau tidak malu di depan teman-temanmu.
Saat kamu berumur 20 tahun, dia bertanya, "Dari mana saja seharian ini?". Sebagai balasannya, kau jawab,"Ah Ibu cerewet amat sih, ingin tahu urusan orang!"
Saat kamu berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan yang bagus untuk karirmu di masa depan. Sebagai balasannya, kau katakan, "Aku tidak ingin seperti Ibu."
Saat kamu berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat kau lulus perguruan tinggi. Sebagai balasannya, kau tanya dia kapan kau bisa ke Bali.
Saat kamu berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah barumu. Sebagai balasannya, kau ceritakan pada temanmu betapa jeleknya furniture itu.
Saat kamu berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya tentang rencananya di masa depan. Sebagai balasannya, kau mengeluh,"Bagaimana Ibu ini, kok bertanya seperti itu?"
Saat kamu berumur 25 tahun, dia membantumu membiayai penikahanmu. Sebagai balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.
Saat kamu berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat bagaimana merawat bayimu. Sebagai balasannya, kau katakan padanya, "Bu, sekarang jamannya sudah berbeda!"
Saat kamu berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan pesta ulang tahun salah seorang kerabat. Sebagai balasannya, kau jawab, "Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu."
Saat kamu berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlu-kan perawatanmu. Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh negatif orang tua yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya.
Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang. Dan tiba-tiba kau teringat semua yang belum pernah kau lakukan, karena mereka datang menghantam HATI mu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.
JIKA BELIAU MASIH ADA, JANGAN LUPA MEMBERIKAN KASIH SAYANGMU LEBIH DARI YANG PERNAH KAU BERIKAN SELAMA INI DAN JIKA BELIAU SUDAH TIADA, INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TULUS TANPA SYARAT KEPADAMU.
Aku sering sekali menangis jika aku memikirkan tentang ibuku, apalagi tentang pertanyaan ini, Apa yang sudah aku berikan kepada Ibuku?... apalagi jika aku berpikir kalau nanti ibuku telah pergi dari dunia ini. Aku belum siap. Sungguh, aku belum siap. Rasa tangis mungkin tidak bisa aku bendung, dan pasti aku tidak bisa memaafkan diriku karena kehilangan ibuku tanpa sesuatu yang berharga untuknya.
Aneh... kenapa seorang ibu selalu saja mencintai anaknya lebih dari mereka mencintai dirinya. Tapi kenapa aku tidak bisa seperti itu, kenapa?
Kenapa aku tidak bisa seperti temanku, yang sangat mencintai ibunya melebihi apapun, waktunya dan kehidupannya untuk ibunya. Sehingga setiap harinya, seolah ada malaikat yang selalu membantunya. Aku yakin sekali bahwa "Surga berada di telapak kaki ibu". Jadi dengan membuat Ibu senang, pasti kehidupan kita akan selalu lurus, baik, indah dan bermakna. Aku yakin tentang itu.... Tetapi kenapa selama ini aku tidak bisa mencintai dia melebihi apapun. Apakah harus kehilangan dia, baru aku mencintainya...
Ada temanku yang lain.. yang sungguh mencintai ibunya dan adik-adiknya. Dia menjadi penentu hidup ibu dan adik-adiknya. Karena ayahnya sudah meninggal waktu dia SMA. Apakah harus seperti itu, baru aku sadar?
Sungguh beruntung aku, sampai saat ini masih bisa merasakan kasih sayang dari ibuku, masih bisa mendengar suaranya, masih bisa menatap matanya dan untuk sekarang aku menangis karena mungkin masih bisa meminta maaf atas kesalahan aku selama ini. Meminta maaf karena sering melawannya, sering membuatnya sedih, meminta maaf karena tidak bisa membalas budinya.... Ohh... Ibu... Mama... Bunda... Maafkan aku...
Mungkin yang bisa kulakukan sekarang ini adalah, berdoa agar ibuku serta ayahku agar bahagia dunia akhirat, selalu sayang kepada anak-anaknya sampai akhir hayat. Jika nanti aku bertemu dengan ibuku, aku harus bilang, kalau aku sungguh menyayanginya.... Dan aku selalu berusaha untuk selalu membuat dia tersenyum... Aku tidak mau menyesal...
Aku atau kita sungguh beruntung masih bisa memiliki ibu dan ayah... Coba kalian pikirkan, jika kehilangan mereka detik ini, kalian tidak akan merasakan kasih sayang mereka, kalian tidak bisa menyentuhnya, walaupun sebenarnya mereka tidak akan hilang di hati kalian... Mulai sekarang, sadarlah, cobalah untuk mengingat kasih sayang Ibumu dan ayahmu... Jika ibumu dan ayahmu pernah marah kepada kalian, ingat selalu bahwa mereka sungguh menyayangi kalian.. Mereka hanya ingin anaknya menjadi orang lebih baik dari mereka... Ikrarkan dalam hati kalian saat ini untuk selalu berusaha menyenangkan mereka... menyenangkan Ibu.. Mama.. Bunda.. Ayah..
Selasa, 03 Juni 2008
buat sintha
Imam Bonjol, Tuanku (1722-1864)
Pemimpin Utama Perang Paderi
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan "jutaan" orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html). Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007). Mitos kepahlawanan Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini. Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung "hawa panas". Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis. Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai "perekat" bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia. Jeffrey Hadler dalam "An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History" (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan. Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, "merangkul" kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI. Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu. Bukan manusia sempurna Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang" kaum Adat. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut "mengundang" sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41). Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri. Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. "Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39). Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB. Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari "tandu kepahlawanan nasional" yang telah "diarak" oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-AziĆ« en OceaniĆ«, Universiteit Leiden, Belanda).
Pemimpin Utama Perang Paderi
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan "jutaan" orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html). Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007). Mitos kepahlawanan Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini. Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung "hawa panas". Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis. Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai "perekat" bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia. Jeffrey Hadler dalam "An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History" (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan. Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, "merangkul" kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI. Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu. Bukan manusia sempurna Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang" kaum Adat. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut "mengundang" sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41). Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri. Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. "Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39). Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB. Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari "tandu kepahlawanan nasional" yang telah "diarak" oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-AziĆ« en OceaniĆ«, Universiteit Leiden, Belanda).
Langganan:
Postingan (Atom)